Sepenggal Asa

Ketika masih anak-anak, saya selalu bingung jika ditanya cita-citanya apa. Bukan karena saya tidak punya cita-cita, tapi karena pilihan karier yang tersedia waktu itu sama sekali tidak menarik bagi saya. Pada umumnya, anak-anak lain akan menjawab ingin jadi dokter, insinyur, polisi, tentara, guru, dan beberapa profesi standar lainnya. Entah kenapa sejak dulu saya tidak pernah tertatik dengan profesi-profesi tersebut.

Sedari kecil, saya paling suka berimajinasi. Mainan favorit saya waktu kecil adalah action figure binatang. Saya punya ratusan koleksi dengan berbagai jenis binatang, mulai dari mamalia hingga dinosaurus. Nah biasanya saya akan menciptakan karakter dari mainan-mainan tersebut, memberi nama pada masing-masing karakter dan juga sifat-sifat mereka, kemudian membuat cerita. Bisa berjam-jam saya bermain sendiri dengan mainan saya ini. Tenggelam dalam dunia imajinasi. Mungkin orang lain yang melihat akan mempunyai kesan saya anak aneh yang penyendiri. But, that’s who I am. Ketika anak lain bermain layang-layang, atau go back to door (ejaan Jawanya gobaksodor), saya malah bermain action figure.

Hobi saya yang lain adalah menggambar. Dari kecil, saya suka corat-coret. Saya suka menuangkan imajinasi saya ke dalam gambar. Sebagian besar inspirasi saya berasal dari karakter tokoh film kartun yang sering saya tonton. Media gambar saya spesifik pada kertas, pensil, dan pensil warna. Terkadang saya lebih suka hitam-putih. Saya tidak suka melukis, dan hampir tidak pernah mengembangkan bakat ke arah sana, kecuali pada saat duduk di bangku SMP karena ada tugas melukis. Sering saya membuatkan gambar atau komik untuk teman-teman atau saudara. Kadang malah mereka melihat proses saya menggambar, dan tidak jarang memberikan pujian atas hasilnya.

Kedua hobi saya tersebut berpengaruh pada apa yang menjadi cita-cita saya, namun pada waktu itu saya tidak tahu apa ada profesi semacam itu. Suatu saat saya melihat televisi, dan ada acara tentang proses pembuatan film animasi Disney. Ternyata di balik keajaiban film animasi, ada para kartunis yang membuat gambar-gambar karakter kesayangan saya. Sejak itu saya memutuskan bahwa saya ingin menjadi kartunis dan bekerja di perusahaan Disney. Namun saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya menanyakan ke beberapa orang dewasa, namun mereka juga tidak tahu. Mereka malah menyarankan saya untuk berpikir realistis saja. Kandaslah harapan saya.

Bukan berarti orangtua tidak mendukung bakat saya. Mereka sangat support. Beberapa kali mereka menyarankan saya untuk ikut lomba menggambar. Namun saya bukan orang yang kompetitif, jadi saya jarang ikut lomba. Saya suka mengalami serangan cemas mendadak kalau ikut lomba. Bukan perasaan yang menyenangkan. Jadi ya lebih baik saya menggambar untuk kesenangan pribadi saja.

Menginjak usia remaja, saya menjadi lebih jarang menggambar, apalagi bermain dengan action figure. Mungkin sudah menjadi tugas perkembangan, jika manusia pada usia remaja lebih banyak menghabiskan waktu bersosialisasi. Begitu juga dengan saya. Menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya, lebih menarik daripada mengurung diri di kamar untuk menggambar. Begitu pemikiran saya waktu itu. Namun hal ini membuat bakat menggambar saya jadi tidak berkembang. Di sisi lain, kemampuan bersosialisasi saya meningkat. Yang awalnya saya adalah anak pendiam dan tidak punya banyak teman, menjadi remaja yang suka nongkrong.

Saat duduk di kelas dua SMA, guru Bahasa Indonesia saya waktu itu memberikan tugas kelompok untuk membuat drama atau pementasan. Imajinasi saya langsung tergugah. Pada saat itu juga saya memutuskan untuk menjadi produser, sutradara, dan penulis naskah bagi kelompok saya. Kami membuat pementasan tentang petualangan bajak laut, jauh sebelum ada film Pirates of Carribean. Di luar dugaan, pementasan kami mendapat sambutan yang cukup positif dari teman-teman lain. Ceritanya yang mengandung unsur komedi dan petualangan ternyata menarik perhatian teman-teman yang melihat.

Saya memang suka melihat film-film bergenre fantasi dan membaca buku dengan genre yang sama pula. Hal ini menginspirasi saya untuk menjadi sutradara atau penulis suatu saat nanti. Saya pernah mengungkapkan ke orangtua mengenai keinginan saya untuk kuliah di jurusan film di IKJ, tapi mereka menentangnya. Oke, kalau begitu saya akan mengambil alternatif lain. Daripada tidak mendapat restu orangtua.

Sempat terpikir untuk mengambil jurusan sastra, karena saya ingin menjadi penulis. Tapi banyak teman-teman yang tidak menyarankan hal tersebut. Kamu akan sulit mendapat pekerjaan, begitu kata mereka waktu itu. Padahal banyak sekali profesi yang membutuhkan keahlian sastra dan tulis-menulis, atau bahkan menjadi writerpeneur. Tapi waktu itu saya tidak tahu dan menelan mentah-mentah saran dari teman-teman. Kandaslah cita-cita menjadi sutradara dan penulis.

Saya teringat hobi masa kecil saya, menggambar. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan desain grafis. Orangtua pun mendukung. Ikutlah saya try out ujian masuknya, karena jurusan ini tidak ikut dalam ujian SPMB. Tapi entah kenapa setelah ikut try out saya tiba-tiba berubah pikiran. Saya kehilangan minat pada jurusan tersebut.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi. Alasan saya waktu itu sederhana, saya ingin mempelajari kepribadian dan karakter manusia supaya saya dapat menulis cerita yang hebat suatu saat nanti. Tidak rasional kan? Tapi waktu itu hanya pikiran tersebut yang terlintas. Sepertinya saya masih ingin menjadi penulis, meskipun jalurnya salah.

Setelah kuliah di Psikologi, apa yang saya dapatkan ternyata berbeda dari apa yang saya bayangkan. Cita-cita menjadi penulis perlahan-lahan terabaikan, dan saya malah ingin menjadi psikolog klinis. Meskipun kadang-kadang saya masih suka menulis.

Setelah lulus, saya mencoba mencari pekerjaan di rumah sakit, sesuai cita-cita saya. Namun ternyata sebagian besar lowongan pekerjaan yang ada membutuhkan lulusan S2 profesi, padahal saya masih berijasah S1. Saya tahu kalau menjadi psikolog masih harus kuliah lagi, tapi saya ingin mencari pengalaman dan modal materi dulu untuk kuliah S2. Akhirnya cita-cita menjadi psikolog klinis pun kandas.

Demi bisa bertahan hidup, akhirnya saya memutuskan untuk bekerja di korporasi dan menjadi staf HRD, profesi yang awalnya sama sekali tidak ada dalam benak saya. Meskipun pada awalnya saya banyak mengalami konflik batin karena menjalani pekerjaan yang bukan impian saya, nyatanya saya sudah berkutat di dunia HRD selama tujuh tahun. Perlahan-lahan saya mulai menikmati prosesnya. Bahkan pada usia yang masih sangat muda, saya dipromosikan sebagai Kepala Sub Departemen (setingkat asisten manajer). Awalnya saya takut dan canggung. Apakah saya sanggup menjalankan tanggung jawab tersebut. Alhamdulillah berkat rahmat Allah dan dukungan dari lingkungan sekitar saya sanggup mengemban amanah tersebut sampai saat ini.

Meskipun sudah memiliki karier yang cukup bagus di bidang HRD untuk saat ini, cita-cita menjadi penulis masih belum hilang. Tampaknya dari sekian cita-cita yang pernah saya miliki, hanya penulis yang masih bertahan hingga saat ini. Beberapa bulan yang lalu, saya diajak bergabung dalam sebuah grup daring oleh seorang teman. Grup ini ditujukan bagi mereka yang mempunyai minat dalam bidang tulis-menulis dan ingin menjadi penulis profesional. Meskipun sebagian besar anggotanya juga masih awam dalam bidang ini, tapi kami saling menyemangati dan berbagi ilmu. Ada beberapa anggotanya yang sudah lebih berpengalaman sebagai jurnalis dan blogger juga tidak pelit berbagi ilmu. Meskipun saya masih belum bisa konsisten menulis secara rutin, tapi paling tidak dengan adanya grup ini jadi menginspirasi saya untuk terus menulis dan mengasah kemampuan menulis saya.

Kadangkala kita memang tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi bukan berarti hal tersebut lantas membuat kita menyerah. Insya Allah, Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik untuk kita, tinggal bagaimana usaha kita untuk meraihnya. Bersyukurlah atas apa yang telah kita dapatkan dan jangan pernah takut untuk bermimpi.

9 Comments Add yours

  1. Kak_Oi says:

    Terkadang di HRD tekanan batin, gak bisa deket sana sini, tebalin telinga juga. Tapi menyenangkan bisa berbaur sama semua orang

    Liked by 1 person

    1. Sbg sesama HRD saya setuju sekali pendapat anda

      Like

      1. Kak_Oi says:

        Lebih tepatnya saya mantan hehehe #apalahakuini

        Liked by 1 person

  2. Aku suka tulisanmu ini maaaas… Jadi ngerti knapa kadang tulisan2mu bentuk cerita fiksi^^ teruskan mas arsa!!! We owe so much ke mba Za nih ya, for gathering us nyalurin hobi terpendam, hehehe…

    Liked by 1 person

    1. Setuju2. May Allah bless her

      Liked by 1 person

      1. Faiza says:

        Indeeddd makanya ya tulisannya arsa kl fiksi baguuss..wahh deep writing ini tulisannya.. kl cari jodoh ada referensi tinggal kasi link.ini aja ke orangnya hahaha… MasyaAllah aku rekk yg makasi sm teman teman. :’) bisa disupport dan ada wadah katarsis dengan pembaca tetap.. MasyaAllah bless you all MM groupppu

        Liked by 1 person

  3. ekadeffa says:

    Baca tulisan ini tiba-tiba otakku kayak memutar backsound lagu D’masiv yg jangan menyerah, , , , apa pengaruh kalimat di endingnya yaa. . . .
    Btw for all, semangat terus mas Arsa kisahmu bisa jadi buku suatu saat nanti, yaitu ttg menapaki jalan sukses berkarir diusia muda, , , , cemungut eeeaaa :*

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih Mbak Eka. Semangat jg utk Mbak Eka. Semoga menjadi ibu dan wanita yg sukses dunia akhirat

      Like

  4. ekadeffa says:

    Allahumma aamiin mksi doanya moment akhir Ramadhan dpt doa itu sesuatu bgt. . . 🌷🌷🌷🌷🌷

    Liked by 1 person

Leave a comment